Friday 19 June 2015

Makalah Tanjungpriok

PERISTIWA TANJUNG PRIOK 12 SEPTEMBER 1984

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.  Setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut.
Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan azas tunggal Pancasila . Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di salahsatu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.

Kronologi Peristiwa Tanjung Priok 1984
Versi Abdul Qadir Djaelani
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.

Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.

Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima.
Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.

Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
























PELANGGARAN HAM DI DAERAH KONPLIK DOM ACEH
               Sosok Aceh kini bagaikan bidadari yang tak lagi  berseri dan keharumannya pun tak lagi semerbak, seperti layaknya Bungong Jeumpa yang selalu dilatunkan oleh para biduan. Betapa tidak, kini rakyat Aceh masih berada di bawah cengkeraman Daerah Operasi Militer  (DOM). Terutama di daerah Aceh Timur,  Aceh Utara, dan Pidie, hingga tidak lah mengherankan, bahkan menyedihkan,  munculnya cerita-cerita rakyat yang memilukan kalbu setiap orang yang mendengarnya, banyak  wanita-wanita yang telah menjadi janda, korban-korban represi militer yang tak kenal batas kemanusiaan.
               Yang lebih parah lagi, rakyat yang tidak tahu apa-apa dijadikan tameng untuk melegitimasi kepentingan aparat, sehingga hari demi hari, waktu demi waktu, rakyat pun selalu dihantui oleh keadaan vang mencekam, ditambah lagi dengan berlakunya jam malam, aktifitas publik dan roda ekonomi rakyat dapat dikatakan terhenti. Banyak lagi rentetan-rentetan peristiwa yang diungkapkan secara sistematik kronologis tentang kondisi ini.
               Media nasional pun sempat mengangkat  fenomena pelanggaran HAM di Aceh sebagai tajuknya, seperti "Membongkar Pembantaian Warga Aceh", "Gejolak Aceh Belum Juga Reda", Nasib HAM Tanpa Tekanan Asing". (UMMAT No. 48/1998).
Inikah peninggalan rezim yang lalu? Pemimpin yang dianggap oleh beberapa pihak menganut teologi kekerasan, bagian praktek menghalalkan segala cara ala Machiavelli. Kata Machiavelli:- tokoh filsafat politik – demi mempertahankan kekuasaanya, seorang pemimpin harus memiliki kekuasaan untuk menjadi tidak baik, tahu kapan memanfaatkan dan kapan tidak memanfaatkan kekuatan tersebut. Seorang penguasa yang bijak, berpegang pada apa yang benar sewaktu dia dapat melakukannva, namun dia juga tahu bagaimana bertindak salah bila perlu.
               Drama pembasmian etnis (genocide) telah banyak diperankan dalam beberapa
pentas negara dunia, dan ini adalah sebuah ilustrasi yang hamper mendekatinya. Sebab peristiwa berdarah di Timtim, Lampung, Tanjung Priok, dan Irian Jaya, tidaklah cukup mewakili untuk memberikan sebuah deskripsi menyeluruh tentang sebuah keteledoran yang dilakukan aparat.
               Aparat keamanan telah semena-mena membuat ke-(tidak)bijakan dalam menyikapi segala fenomena sosial-politik di Aceh, padahal persoalan di sana bukanlah persoalan disintegrasi nasional, apalagi sengketa etnik atau pun wilayah. Lihatlah sejarah bangsa ini, bukanlah cerita baru, bahwa nasionalisme Aceh-sebagai empat besar penyumbang  devisa negara dari zaman penjajah hingga hari  ini tetap konsisten dengan isme kebangsaan-keIndonesiaannya, terbukti Aceh menyumbang pesawat Seulawah untuk RI dari hasil emas rakyat.
               Juga kini terbukti tatkala Indonesia mengalami krisis moneter, Aceh pun menempati urutan pertama sebagai penyumbang emas. Namun sangatlah ironis, rakyat Aceh -yang tidak pernah dijajah oleh Jepang dan Belanda kini harus terjajah oleh negara tempat ia berhamba selama ini.
               Bentuk penjajahan yang paling konkret dan begitu terasa, terutama pada era 90-an ke atas adalah penjajahan mental yang terefleksikan dari sikap pemerintah yang secara sporadis mengklaim Aceh sebagai wilayah exposed.
Bahkan tak tanggung-tanggung, pemerintah pun menjadikan Aceh sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM).Hak azasi manusia tidak mempunyai tempat di sana, dan dunia internasional pun tak sedikitpun mempublikasikan derita rakyat Aceh. Apa karena Islam? Termasuk juga hukum, banyak cerita-cerita tentang ketertindasan rakyat dengan pengerahan pasukan yang sama sekali tidak bisa berpikir dengan kepala dingin, tapi cenderung mempergunakan politik "bumi hangus".
               Begitu pula dalam hal Ekonomi, terasa sangat lamban, sebab masyarakat sulit menjalankan aktifitas ekonomi secara lancar. Juga wilayah Politik dan Hukum, kebebasan berkumpul dan berbicara dipangkas habis, apapun kegiatan yang dapat menimbulkan kecurigaan -tanpa melalui azas praduga tak bersalah-harus siap dihukum sebelum terlebih dahulu melewati fase "pengakuan dosa" yang penuh gebukan, tamparan dan tendangan, plus rekayasa yang rapi.
               Dalam wilayah intelektual, mahasiswa dikekang dan dipaksa untuk tidak berpikir secara kritis analitis, sensitif dan responsi=A3 Sedikit anda vocal berarti telah membuka diri untuk siap diklaim sebagai intelektual GPK. Dunia kampus terasa mati dan tertutup untuk wahana pengabdian masyarakat, sehingga kampus menjadi sebuah bangunan tua, tempat para murid harus belajar dengan tekun tanpa kepekaan sosial apa pun.
               Yang lebih tragis lagi adalah wilayah pembangunan mental, bayang-bayang ketakutan tak berwujud selalu menghinggapi masyarakat, sajian yang dihidangkan dalam setiap pembicaraan selalu berkisah tentang cerita dan fakta tentang  kebrutalan serdadu. Gelimpangan mayat yang dengan sengaja, selalu menghiasi jalan-jalan dan tempat-tempat umum seakan –dengan angkuhnya ingin berkata-- yang membangkang akan mendapat "seperti ini". Trauma itu pun sampai kini selalu menghantui rakyat Aceh.
               Masyarakat selalu menjadi obyek kesewenangan aparat, dengan tanpa malu dan segan mereka menggunakan hak milik individu masyarakat tanpa sedikitpun menghormati properti yang dipakai tersebut. Yang paling kurang ajar lagi adalah, perampasan kehormatan wanita-wanita kampung, warga sipil yang tidak berdosa Dimana lagi hati nurani? Apa kah mereka kira keperawanan itu juga milik negara yang bisa dipakai secara bebas?
               Trauma apalagi yang harus dipikul. Puluhan remaja kehilangan masa depan, ratusan ibu-ibu menjadi janda tanpa keterangan yang jelas tentang kehilangan atau penculikan atau pun kematian, ribuan anak kehilangan kasih sayang orang tua. Kisah ini sangat memiriskan hati dan telah menjadikan wilayah ujung Sumatera itu semakin teralienasi dari nasionalitasnya.
               Namun demikian, angin reformasi rupanya mulai berhembus ke Aceh, terbukti
TIM  KOMNAS telah terjun, meskipun masih belum maksimal, juga yang terakhir diprakarsai oleh  DPR RI dengan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) DPR RI ke Aceh, yang diketuai oleh Hari Sabarno. Juga pro aktifnya mahasiswa, LSM, LBH, dan sebagainya untuk membentuk Forum Peduli HAM (Care Human Rights Forum) di Aceh. Sehingga angin tersebut dapat benar-benar menyegarkan suasana sosial-politik  Aceh khususnya, dan dapat menguak pelanggaran Hak Azasi manusia (HAM) yang selama ini ditutup-tutupi. Semoga. Rus.












PETRUS (PENEMBAKAN MISTERIUS)

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.
Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.
Sejarah
Petrus berawal dari operasi pe nang gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng har gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber ha silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadap an Rapim ABRI, Soehar to meminta polisi dan ABRI mengambil lang kah pemberantasan yang efektif me ne kan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pang opkamtib Laksamana Soedomo da lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma sing-masing kota dan provinsi lainnya

Akibat
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an taranya 15 orang tewas ditembak. Ta hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an taranya tewas ditembak. Para korban Pe trus sendiri saat ditemukan masyarakat da lam kondisi tangan dan lehernya te ri kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke*amanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang Dandim 0734 Letkol CZI M Hasbi (kini Wakil Ketua DPRD Jateng, red) sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.musnahkan penjahat sampai ke akar2 nya

Kontroversi
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe megang kekuasaan. Amnesti Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia ini.

Awal mulanya
Ketika tahun 80 an, Para preman dan para perampok akan ketakutan kala mendengan kata "Petrus". Petrus sebenarnya adalah singkatan dari Penembak Misterius. Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.
Tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.

Salah satu korban Petrus 
Sebagian besar korban para petrus adalah preman-preman kelas teri yang biasanya menjadi pemalak, perampok, dan Bromocorah atau mereka yang dianggap melawan peraturan kekuasaan rezim soeharto. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Galli. Petrus biasanya mengambil para pemuda yang dianggap sebagai preman. Meraka biasanya dibawa dengan mobil jeep gelap dan dibawa ke tempat yang jauh dari keramaian. setelah itu mereka dibunuh dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. Pada masa itu, para preman menjadi sangat takut untuk keluar rumah, bahkan pemuda bukan preman tapi mempuanyai tato di badanya kadang juga sering menjadi incaran para petrus. maka tak heran jka pada masa itu, Rumah sakit kewalahan menerima para pemuda yang ingin menghapus tato mereka.

Dari data yang diterima, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.

Pada Maret di tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.


Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
















PNEMBAKAN MAHASISWA  TRISAKTI 12 Mei 1998
Tragedi Trisakti merupakan  peristiwa penembakan mahasiswa pada saat demontrasi yang menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Perisiwa tersebut terjadi  pada tanggal 12 Mei 1998 dan menewaskan empat mahasiswa  Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka-luka. Mereka yang tewas tersebut adalah Elang Mulia LesmanaHeri HertantoHafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada. Mahasiswa menuntut pemerintah untuk secepatnya melaksanakan reformasi politik, ekonomi, dan hukum, serta menuntut dilaksanakannya Sidang Umum Istimewa MPR.
Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan.
Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.





Proses Terjadinya Tragedi Trisakti
Tragedi Trisakti yang di identikkan dengan demontrasi yang menuntut turunnya Soeharto sebagai Presiden merupakan salah satu titik balik. Kematian yang terjadi dalam tragedy tersebut bersama dengan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi , telah memporak-porandakan benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial. Kerusuhan missal terjadi di berbagai tempat. Dan yang terparah adalah di Jakarta dan Surakarta. Perusahaan para cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama  pembakaran dan penjarahan. Bank Central Asia milik Liem Sioe Liong merupakan obyek serangan utama. Rumah Liem di Jakarta dijarah dan dibakar. Lebih dari seribu jiwa yang tewas di Jakarta.
Jika diamati, peristiwa Trisakti tersebut dilator belakangi oleh Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad,Batalyon Infanteri 202Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mataStyer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.




















TRAGEDI SEMANGGI I TANGGAL 13 Nopember 1998
Pada bulan November 1998, pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan BJ Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu, masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari untuk melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul.
Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa, mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Pada 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, dan terjadi bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
Pada 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa).
Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jalan Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian dia meninggal dunia.
Besok harinya, Jumat, 13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta.
Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan.
            Saat itu juga, beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalanan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
            Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekira jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka.
Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang.
Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat.
Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.[wikipedia]





























TRAGEDI SEMANGGI II Tanggal  24 September 1999

Tanggal 24 September 2012 adalah tepat 13 tahun terjadinya Tragedi Semanggi II yang menewaskan seorang mahasiswa dan 11 orang lain serta menyebabkan 217 korban luka-luka.
Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menilai selama delapan tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum ada langkah yang konstruktif yang dilakukan Presiden untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, diantaranya kasus Semanggi II.
Presiden Yudhoyono, menurut Haris, harus segera mendorong Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan demi kepastian hukum dan keadilan bagi korban.
Padahal Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM), kata Haris, telah menyerahkan hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung pada  29 April 2002, tetapi hingga kini belum ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Kondisi tersebut lanjut Haris merupakan sebuah fenomena yang janggal dan ironis dalam proses penegakan hukum dimana 10 tahun berkas hasil penyelidikan diendapkan tanpa adanya kepastian sehingga akses korban untuk mendapatkan keadilan menjadi semakin kabur.
“Jaksa Agung dan Presiden memiliki tanggung jawab konstitusional, tanggung jawab hukum terhadap kasus ini. Ini bukan sekedar persoalan politis yang mencari solusinya dengan cara politis. Kewajiban hukum sangat ada dan jelas didalam aturan hukum yang ada di Indonesia,” ujar Haris pada jumpa pers di kantor KontraS di Jakarta, Minggu (23/9).
Di tempat yang sama, sejumlah mahasiswa dari berbagai Universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, Universitas YAI, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menilai pemerintahan Yudhoyono enggan menyelesaikan kasus semanggi II.
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Billy Aryo Nugroho menjelaskan pemerintah harus berani menindak siapapun yang terlibat dalam kasus ini.
“Pemerintah, Presiden dan juga DPR untuk bersikap netral untuk menempatkan semua orang setara dihadapan hukum agar ketidakadilan ini dapat diluruskan, dapat diusut tuntas. Tidak ada lagi yang jadi korban dan tidak ada lagi preseden buruk untuk masa depan negara kita ke depannya,” ujar Billy.
Ho Kim Ngo, ibu dari Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas dalam peristiwa Semanggi II, berharap Kejaksaan Agung konsisten akan meneruskan pengungkapan kasus ini. Ia menambahkan Presiden Yudhoyono harus menepati janjinya kepada keluarga korban, bahwa akan menyelesaikan kasus ini seperti dalam pertemuan 2008 lalu di Istana.
“Sekarang ini, hari ini juga aku mohon kepada presiden, bukalah mata dan telinganya, dengarlah ucapan korban hari ini bagaimana untuk menyelesaikan kasus anak-anak kami,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Togarisman menyatakan banyaknya hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM yang tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung disebabkan belum adanya pengadilan HAM Ad.hoc.
“Peristiwa yang terjadi sebelum 2000, jadi masalah juga berarti kan untuk memroses itu nanti pengadilan Ad hoc untuk itu,” ujar Adi.
Kasus Semanggi II terjadi pada 24-28 September 1999, saat maraknya aksi-aksi mahasiswa menentang Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI.
Pembunuhan Munir Sebagai Aktifis  HAM Indonesia Tanggal 7 September 2004

Tahun 2004
*7 Sept 2004    Aktivis  HAM  dan  pendiri  KontraS  dan  Imparsial,  Munir  (39  thn)     meninggal  di   ataspesawat  Garuda  dengan  nomor    GA-974  ketika  sedang  menuju  Amsterdam  untuk melanjutkan  kuliah  pasca-sarjana.  Sesuai  dengan  hukum  nasionalnya,  pemerintah Belanda melakukan otopsi atas jenazah almarhum.

*12 Sept 2004 Jenazah Munir dimakamkan di kota Batu, Malang, Jawa Timur.

*11 Nov 2004
  Pihak keluarga almarhum mendapat informasi dari media Belanda bahwa hasil otopsi Munir oleh  Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan bahwa beliau meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.

*12 Nov 2004 
  Suciwati, istri Munir mendatangi Mabes Polri untuk meminta hasil otopsi  namun gagal. Presiden  SBY  berjanji  akan  menindaklanjuti  kasus  pembunuhan  Munir.  Berlangsung siaran  pers  bersama  sejumlah  LSM  di  kantor  KontraS  mendesak  pemerintah  untuk segera  melakukan  investigasi  dan  menyerahkan  hasil  otopsi  kepada  keluarga  dan membentuk  tim  penyelidikan  independen  yang  melibatkan  kalangan  masyarakat  sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh para tokoh masyarakat di berbagai daerah.

*18 Nov 2004    Markas Besar Polri memberangkatkan    tim penyelidik (termasuk ahli forensik) dan Usman  Hamid  (Koordinator  KontraS)  ke  Belanda.  Pengiriman  tim  tersebut  bertujuan meminta dokumen otentik, berikut mendiskusikan hasil otopsi dengan ahli-ahli forensik di  Belanda.  Tim  ini  gagal mendapatkan  dokumen  otopsi  asli  karena  tidak  memenuhi prosedur administrasi yang diminta pemerintah Belanda.
*20 Nov 2004    Istri Munir, Suciwati mendapat teror di rumahnya di Bekasi.
*22 Nov 2004    Suciwati dan beberapa aktivis NGO bertemu dengan Komisi III DPR RI. Komisi III setuju dengan usulan yang diajukan oleh kerabat Munir untuk mendesak pemerintah segera membentuk tim investigasi independen.
*23 Nov 2004   Rapat paripurna DPR sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir dan segera menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga almarhum. Selain itu DPR juga membentuk tim pencari fakta sendiri.
*24 Nov 2004  Suciwati   bersama   beberapa aktivis LSM   bertemu dengan Presiden SBY di Istana Negara.  Presiden  berjanji  akan  membentuk  tim  independen  untuk  menyelidiki  kasus Munir.
*26 Nov 2004  Imparsial dan KontraS menyerahkan draft usulan pembentukan tim independen kasus Munir  kepada  Presiden  melalui  Juru  Bicaranya,  Andi  Malarangeng.  Draft  ini  berisi bentuk tim, mekanisme tim, dan daftar nama  calon anggota tim.
*28 Nov 2004   Mabes Polri    melakukan   pemeriksaan   terhadap  8 kru  Garuda   yang   melakukan penerbangan bersama almarhum Munir. Hingga kini sudah 21 orang yang diperiksa.
*2 Des 2004    Ratusan aktivis dan korban pelanggaran HAM berdemo di depan istana untuk meminta Presiden SBY agar segera membentuk tim investigasi independen kasus Munir.
*21 Des 2004    Di  Mabes  Polri   terjadi  pertemuan  antara  Kepolisian,  Kejaksaan  Agung,  Dephuk  dan HAM, serta aktivis HAM untuk membahas tindak lanjut tim independen kasus Munir.
*23 Des 2004    Presiden SBY mengesahkan Tim Pencari Fakta untuk Kasus Munir yang anggotanya melibatkan kalangan masyarakat sipil dan berfungsi membantu Polri dalam menyelidiki kasus terbunuhnya Munir.

2005

*13 Jan 2005    TPF pertama kali bertemu dengan tim penyidik Polri. Dalam pertemuan tersebut, TPF menilai tim penyidik lambat dalam menetapkan tersangka.
*11 Feb 2005    TPF  mendesak  Polri  untuk  melakukan  rekonstruksi.  Pihak  Polri  berkilah  rekonstruksi tergantung kesiapan Garuda.
*24 Feb 2005    Ketua TPF, Brigjen Marsudi Hanafi menilai Garuda tidak kooperatif dalam melakukan  rekonstruksi kematian Munir.
*28 Feb 2005    Ketua  TPF,  Brigjen  Marsudi  Hanafi  menilai  Garuda  menutupi  kematian  Munir.  Selain menghambat   rekonstruksi   kematian   Munir,   pihak   manajemn   Garuda   juga   diduga memalsukan surat penugasan Pollycarpus, seorang pilot Garuda.
*3 Mar 2005    TPF  menemui  Presiden  SBY  untuk  melaporkan  perkembangan  kasus  Munir.  TPF menemukan  adanya  indikasi  konspirasi  dalam  kasus  kematian  pejuang  hak  asasi manusia  (HAM)  Munir.  Ketua  TPF  Kasus  Munir,  Brigjen  (Pol)  Marsudi  Hanafi  TPF menyatakan terdapat indikasi kuat bahwa kematian Munir adalah kejahatan konspiratif dan bukan perorangan, di mana di dalamnya terlibat oknum PT Garuda Indonesia dan pejabat direksi PT Garuda Indonesia baik langsung maupun tidak langsung.
*4 Mar 2005    Kapolri, Da'I Bachtiar  mendukung temuan TPF kasus Munir yang menyatakan direksi PT Garuda terlibat dalam pembunuhan Munir.
*7 Mar 2005    Tim Investigasi DPR berpendapat Pollycarpus banyak berbohong dalam pertemuannya di DPR.
*8 Mar 2005    Sejumlah organisasi HAM Indonesia akan membawa kasus Munir ke Komisi HAM PBB dalam sidangnya yang ke-16 di Jenewa, Swiss 14 Maret-22 April 2005 mengingat Munir sudah menjadi tokoh HAM internasional.
*10 Mar 2005    Pollycarpus tidak memenuhi panggilan I Mabes Polri dengan alasan sakit.
*12 Mar 2005    Brigjen Pol Marsudi Hanafi (KetuaTPF) mengeluarkan pernyataan yang menyayangkan lambannya  kerja  tim  Badan  Reserse  dan  Kriminal  (Bareskrim)  Mabes  Polri  dalam mengusut kasus kematian Munir.
*14 Mar 2005    Penyidik  dari Bareskrim  Polri  memeriksa  Pollycarpus  selama  13  jam  lebih  dengan  lie detector.
*15 Mar  2005  Polri kembali memeriksa Pollycarpus. TPF merekomendasikan 6 calon tersangka, 4 dari lingkungan PT Garuda.
*16 Mar 2005    Kepala  BIN,  Syamsir  Siregar  membantah  adanya  keterlibatan  anggota  BIN  dalam pembunuhan Munir.
*18 Mar 2005    Pollycarpus resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Mabes Polri.
*23 Mar 2005  Suciwati memberikan kesaksian di hadapan siding Komisi HAM PBB di Jenewa.
*26 Mar 2005  Kepala BIN, Syamsir Siregar membantah bahwa Pollycarpus adalah anggota BIN.
*28 Mar 2005    Presiden SBY memperpanjang masa kerja TPF hingga 23 Juni 2005. Jaksa Agung, Abdurahman Saleh   telah mengirim surat ke pemerintah Belanda yang menjamin  tidak  akan  memvonis  hukuman  mati  bagi  terpidana  kasus  Munir.  Surat  ini dibuat agar pemerintah Belanda bersedia memberika data hasil forensik.
*5 Apr 2005    Polri   menetapkan   dua   kru   Garuda  -Oedi Irianto (kru pantry)  dan  Yeti  Susmiarti (pramugari)-   menjadi   tersangka   kasus   Munir.   Mereka   adalah   kru   kabin   selama penerbangan Garuda Jakarta-Singapura di kelas bisnis, tempat Munir duduk.
*6 Apr 2005    Dalam  siaran  persnya,  Suciwati  menyatakan  mendapat  dukungan  dari  komunitas internasional, termasuk Ketua Komisi HAM PBB, Makarim Wibisono selama kunjungan kampanyenya di Eropa. Setelah gagal dua kali, akhirnya TPF berhasil bertemu dengan   jajaran tinggi BIN. Hasil kesepakatannya adalah TPF-BIN akan bentuk tim khusus. Usman  Hamid  (TPF)  mempertanyakan  polisi  yang  tidak  memeriksa  sebagian  nama yang  telah  direkomendasikan  TPF  dan  mempertanyakan  penetapan  dua  tersangka baru.
*7 Apr 2005   Tiga Deputi BIN diikutsertakan dalam kerja TPF.Ketua  TPF,  Marsudhi  Hanafi  mengusulkan agar  penyidik  menjadikan  Vice-President Security AviationGaruda, Ramelgia Anwar sebagai tersangka.
*8 Apr 2005   Lima  orang  karyawan  Garuda  diperiksa  oleh  penyidik  Direktorat  Kriminal  Umum  dan Transnasional   Polri.   Kelimannya   adalah   Indra   Setiawan   (mantan   Dirut   Garuda), Ramelgia Anwar   (Vice-President   Security   AviationGaruda),   Rohainil   Aini   (Chief Secretary Pilot Airbus 330), Carmel Sembiring (Chief Pilot Airbus 330), dan Hermawan (Staf Jadwal Penerbangan Garuda). Pada  pemeriksaan  tersebut  dibahas  soal  surat  penugasan  Polllycarpus  yang  banyak kejanggalannya.
*11 Apr 2005  Mantan Sekretaris Utama (Sesma) BIN, Nurhadi    menolak hadir dalam pemeriksaan TPF. Nurhadi meminta pertemuannya di kantor BIN. Ini merupakan penolakkan kedua kalinya.  Nurhadi  diduga  mengangkat  Pollycarpus  sebagai  agen  utama  BIN.   Syamsir membantah  adanya  surat  pengangkatan  Pollycarpus  sebagai  anggota  BIN  (Skep  Ka BIN No.113/2/2002).  Saat  ini  Nurhadi  merupakan  Dubes  RI  untuk  Nigeria.  Namun  ia  mengakui  masih sebagai anggota BIN. Penyidik Polri   memeriksa Brahmani Astawati (pramugari Garuda), Sabur Taufik (pilot Garuda   GA   974,   rute   Jakarta-Singapura),   Eva   Yulianti   Abbas   (pramugari),   dan Triwiryasmadi (awak kabin).
*15 Apr 2005  Penyidik    Mabes  Polri  memeriksa   dua  orang  warga  negara  Belanda  yang  duduk  di sebelah Munir.
*19 Apr 2005  TPF menolak permintaan BIN ajukan pertanyaan secara tertulis kepada anggota BIN.
*21 Apr 2005  Nurhadi menolak pemeriksaan untuk ketiga kalinya.
*27 Apr 2005  Dalam Siaran Persnya  Nurhadi menegaskan tidak akan memenuhi panggilan TPF dengan  alasan  tidak  ada  dasar  hukum.  Nurhadi  juga  membantah  mengenal  dan mengangkat Pollycarpus sebagai anggota BIN.
*28 Apr 2005   Deplu menunda keberangkatan Nurhadi ke Nigeria.
*29 Apr 2005    Kapolri Da'I Bachtiar meminta Nurhadi penuhi panggilan TPF. Polri   memeriksa   Tia   Dewi   Ambari,   pramugari   Garuda   GA   974   rute   Singapura- Amsterdam  yang  melihat  Munir  mengalami  kesakitan  sesaat  sebelum  pesawatnya lepas landas dari Bandara Changi, Singapura.
*30 Apr 2005    Lewat  Sudi  Silalahi  -Sekretaris  Kabinet-  Presiden  SBY  minta  Nurhadi  memberikan keterangan kepada TPF.
*2 Mei 2005  Protokol kerjasama TPF-BIN    ditandatangani. Protokol ini    diharapkan bisa mempermudah  kerja  TPF  dalam  meminta  keterangan  para  anggota  dan  mantan anggota BIN.
*3 Mei 2005   Kuasa hukum Nurhadi, Sudjono menyatakan kliennya akan tidak memenuhi panggilan TPF karena isi protokol tidak sejalan dengan mandat Keppres pembentukan TPF. Sejumlah  anggota  DPR  Komisi  Pertahanan  dan  Luar  Negeri  meminta  Nurhadi  untuk kooperatif.  DPR  mengancam  akan  meninjau  ulang  posisi  Nurhadi  sebagai  Dubes Nigeria. TPF mengancam Nurhadi akan dilaporkan ke Presiden jika tetap menolak panggilan TPF.
*4 Mei 2005 Suciwati, istri Munir    mendapat  ancaman  teror  lewat  surat  yang  dikirim  ke  kantor KontraS.
*6 Mei  2005  Penyidik Polri    mengkonfrontasikan    kesaksian   Brahmanie Hastawati   -awak  kabin Garuda-   dengan   Lie   Fonny   -saksi   penumpang   dari   Belanda-   soal   Pollycarpus. Brahmanie   mengaku   melihat   Pollycarpus   berbincang-bincang   dengan   Lie   Fonny sedangkan Lie Fonny membantah keterangan tersebut.
*9 Mei 2005   TPF  akhirnya  memeriksa  Nurhadi  selama  2  jam  dengan  sekitar  20  pertanyaan.  Dari hasil pemeriksaan, TPF makin yakiin bahwa BIN terlibat pembunuhan Munir.
*11 Mei 2005   TPF melaporkan   kerjanya ke Presiden SBY. Menurut Presiden SBY kerja TPF belum memuaskan.  Untuk  itu  Presiden  SBY  akan  memimpin   langsung  pembicaraan  antara TPF, Polri, dan  IN.   Presiden SBY   kemudian memanggil 3 menteri ke istana untuk merespon  laporan  TPF.  Mereka  adalah  Menko  Polhukam,  Widodo  AS,  Menkumham, Hamid Awaluddin, dan Jaksa Agung Abdulrahman Saleh. Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri memeriksa Nurhadi Djazuli terkait kasus Munir.
*12 Mei 2005    TPF memeriksa dokumen BIN di kantornya terkait dengan pemeriksaan Nurhadi. TPF juga memeriksa   Kolonel   Sumarmo,   Kepala   Biro   Umum   BIN   di   kantornya.   TPF memandang Sumarmo tidak kooperatif selama pemeriksaan.
*13 Mei 2005    Ketua TPF, Marsudhi Hanafi berencana akan memeriksa Muchdi PR -mantan Deputi V BIN Bidang Penggalangan dan Propaganda- dalam waktu dekat.
*16 Mei 2005    Penahanan  Pollycarpus  diperpanjang  30  hari  lagi.  TPF  memeriksa  satu  lagi  anggota BIN secara tertutup dan  identitasnya dirahasiakan. Muchdi PR datang ke Mabes Polri untuk memberikan keterangan kepada penyidik Polri terkait kasus Munir. Polri tidak merinci hasil pemeriksaannya kepada wartawan.
*17 Mei 2005    Garuda menskors karyawannya terkait pemeriksaan Polri dan TPF. TPF  bertemu kembali dengan  Presiden SBY  -didampingi  Jaksa  Agung  Abdurrahman Saleh,   Kapolri   Da'I   Bachtiar,   dan  Sekretaris   Kabinet   Sudi   Silalahi.   Kali   ini   TPF melaporkan adanya  kontrak  berkali-kali  antara Pollycarpus  dengan  pejabat  BIN,  yaitu Muchdi PR antara September-Oktober 2004. Nurhadi kembali diperiksa oleh TPF.
*19 Mei 2005    KontraS mendapat teror terkait dengan kasus Munir. TPF mulai berencana memanggil mantan Kepala BIN, Hendropriyono.TPF bertemu dengan Tim Munir DPR di Gedung MPR/DPR. Dalam pertemuan itu TPF melaporkan bahwa kerja mereka dihambat oleh BIN.
*20 Mei 2005  Kepala BIN,  Syamsir Siregar  membantah    menghambat   kerja  BIN.  Syamsir  juga meragukan temuan TPF.  Syamsir juga menyatakan kontak telepon antara Pollycarpus dengan Muchdi PR belum tentu soal Munir.
*24 Mei 2005    TPF mempertanyakan artikel yang dibuat Hendropriyono di The Jakarta Post dan The Strait Times yang isinya merupakan klarifikasi Hendropriyono untuk tidak akan menolak panggilan  TPF.  Dalam  artikel  tersebut  Hendropriyono  membantah  keterlibatan  BIN dalam kasus Munir. DPR mendukung pemanggilan Hendropriyono oleh TPF.
*25 Mei 2005   Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Komisaris Jendral Pol Suyitno   Landung   menyatakan   akan   memanggil   anggota   aktif   Kopassus,   Kolonel Bambang Irawan  terkait  kasus  Munir.  Menurut  seorang  sumber  Bambang  Irawan pernah latihan menembak bersama dengan Pollycarpus. Kapolri berjanji akan tindak lanjuti temuan TPF.
*29 Mei 2005    Hendropriyono mengadukan dua anggota TPF -Usman Hamid dan Rachland Nashidik- ke Polri dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.
*30 Mei 2005    TPF mempercepat pemanggilan terhadap Hendropriyono, dari tanggal 10 Juni menjadi 6 Juni 2005.Hendropriyono mengadu ke DPR terkait masalahnya dengan TPF.
*31 Mei 2005    Kapolri Da'I Bachtiar berjanji akan serius menyelesaikan kasus Munir. TPF mempertanyakan   Polri   terhadap   rekomendasi   yang   belum   ditindaklanjuti; digelarnya rekonstruksi,  pemeriksaan   marathon   terhadap   beberapa   eksekutif   TP Garuda,  dan  pemeriksaan  terhadap operator  kamera  pemantau  (CCTV)  Bandara Soekarno-Hatta.
*1 Jun 2005   Beberapa LSM mengecam sikap Hendropriyono yang melecehkan TPF. Hendropriyono dalam sebuah wawancara di Metro TV (31 Mei 2005), menyatakan TPF sebagai "hantu blau" dan "tidak professional". TPF  gagal  periksa  dua  pejabat  BIN  -Nurhadi  dan  Suparto-  setelah  mereka menolakdengan alasan tidak setuju dengan lokasi pertemuan.
*2 Jun 2005    TPF Munir memeriksa dua awak kabin Garuda, Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti.
*3 Jun 2005    TPF gagal memeriksa Muchdi PR.
*6 Jun 2005    Hendropriyono  tidak  memenuhi  panggilan  TPF.  Alasannya  pemanggilan  dirinya  tidak didasari oleh protokol TPF-BIN.
*7 Jun 2005    Tim penyidik Mabes Polri memeriksa kembali Indra Setiawan, mantan Dirut PT Garuda. Kepala   BIN,   Syamsir   Siregar   meminta   Hendropriyono   untuk   datang   memenuhi panggilan TPF. TPF menjadwalkan lagi pertemuan dengan Hendropriyono pada tanggal 9 Juni 2005, kali ini sesuai dengan protokol TPF-BIN.
*8 Jun   2005    TPF gagal memeriksa Muchdi PR untuk kedua kalinya.
*9 Jun 2005    TPF gagal memeriksa Hendropriyono untuk kedua kalinya.
*13 Jun 2005    Hendropriyono, lewat    kuasa  hukumnya,  Syamsu  Djalal  menyatakan  tidak  akan memenuhi panggilan TPF.Penyidik  Mabes  Polri  menyerahkan  berkas  perkara  Pollycarpus  ke  Kejaksaan Tinggi DKI. TPF menyatakan bahwa kasus Munir merupakan pembunuhan konspiratif.
*14 Jun 2005    Hendropriyono   mendesak    Polda Metro Jaya    untuk  segera  menuntaskan kasus pencemaran nama baiknya. TPF temukan dokumen 4 skenario pembunuhan Munir.
*15 Jun 2005    BIN mengaku tidak mengetahui adanya dokumen 4 skenario pembunuhan Munir. BIN secara institusional menyurati Hendropriyono untuk memenuhi panggilan TPF. Mabes   Polri   berjanji   akan   menindaklanjuti   temuan   TPF   tentang   4   skenario pembunuhan Munir.
*16 Jun  2005    Hendropriyono melewati batas   waktu  pemanggilan  TPF.  TPF     memutuskan    tidak akan  memanggil  Hendropriyono  lagi.  Hendropriyono  telah  menolak  3  kali  panggilan TPF.
*17 Jun 2005    TPF  bertemu secara tertutup dengan  DPR.  Salah  satu  persoalan   yang disampaikan TPF  adalah  anggarannya  yang  belum  turun.  Tim  Munir  DPR  juga  berjanji  akan memfasilitasi pertemuan antara TPF dengan Hendropriyono.Penyidik Mabes Polri mengaku sudah memeriksa Hendropriyono terkait dengan kasus Munir. Pemeriksaan ini diduga dilakukan secara diam-diam.
*19 Jun 2005    Presiden SBY mengaku kecewa kepada Hendropriyono yang menolak panggilan TPF.
*20 Jun 2005    Hendropriyono bertemu dengan Tim Munir DPR.
*21 Jun 2005    TPF Munir menolak undangan DPR untuk dipertemukan dengan Hendropriyono. Unjuk rasa   dilakukan   di   depan    Istana    Merdeka    untuk   meminta    penuntasan kasus Munir.
*22 Jun 2005    TPF    menyelesaikan  laporan  akhirnya  untuk  diserahkan  kepada  Presiden  SBY.  TPF berjanji   dalam   laporannya   akan   menyebutkan   nama-nama   yang   terlibat   dalam pembunuhan Munir.
*23 Jun 2005    Rekonstruksi kasus kematian Munir dilakukan.
*24 Jun 2005    TPF menyerahkan laporannya kepada Presiden SBY. Beberapa rekomendasi diajukan TPF seperti membentuk tim penyidik baru dan  pembentukan komisi khusus baru Presiden SBY berjanji akan mengawal kasus Munir hingga selesai. Hendropriyono mengadu ke Dewan Pers karena merasa dirinya mengalami trial by the press pada kasus Munir. DPR mendesak Polri dan kejaksaan untuk memeriksa ulang mantan pejabat BIN.
*27 Jun 2005    Brigjen  Pol  Marsudhi  -mantan  ketua  TPF-  ditunjuk  menjadi  ketua  tim  penyidik  Polri yang baru untuk kasus Munir. Laporan  TPF  didistribusikan  ke  pejabat  terkait  oleh  Sekretaris  Kabinet,  Sudi  Silalahi. Mereka adalah Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BIN, Panglima TNI, dan Menteri Hukum dan HAM.
*28 Jun 2005 Mabes Polri mengerahkan 30 penyidik untuk tuntaskan kasus Munir pasca TPF. Mereka berasal dari Badan Reserse Kriminal, Interpol Polri, dan Polda Metro Jaya.
*13 Jul 2005 Laporan  TPF  belum  juga  diumumkan  kepada  publik  oleh  Presiden  SBY.  Pollycarpus jadi tahanan Kejaksaan Tinggi DKI.
*18 Jul 2005  Suciwati bertemu Kapolri Jendral (Pol)   Sutanto dan menyatakan kekecewaannya atas lambannya proses penyidikan Polri.
*20 Jul 2005 Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, Widodo AS menyatakan seluruh temuan TPF untuk keperluan penyelidikan,  penyelidikan, dan penuntutan.
*21 Jul 2005    Juru Bicara    Kepresidenan, Andi Mallarangeng menyatakan tidak ada keharusan bagi Presiden   untuk   mengumumkan   tindak   lanjut   TPF.   Dia   juga   menyatakan   bahwa penanganan kasus Munir akan dilanjutkan lewat mekanisme biasa.
*26 Jul 2005    Parlemen  Uni  Eropa  mempertanyakan  lambannya  perkembangan  kasus  Munir  dalam kunjungannya ke Komisi I DPR.
*29 Jul 2005    Jaksa Penuntut Umum    (JPU) dari  Kejaksaan  Negeri    Jakarta Pusat    melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri  Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan 5 majelis hakim  untuk menangani kasus Munir dengan tersangka Pollycarpus. Mereka adalah Cicut   Sutiyarso (ketua), Sugito, Liliek Mulyadi, Agus Subroto, dan Ridwan Mansyur. Kapolri Jendral (Pol) Sutanto menyatakan tetap akan melakukan upaya penyidikan.
*1 Ags  2005    Anggota DPR, Lukman Hakim Saifuddin meminta Presiden SBY untuk mengumumkan temuan TPF.
*9 Ags 2005    Pengadilan   untuk   kasus   Munir   dengan   terdakwa   Pollycarpus   mulai   digelar   di Pengadilan   Negeri   Jakarta   Pusat.   Pollycarpus   didakwa   melakukan   pembunuhan berencana  dan  diancam  hukuman  mati.  Motif  Pollycarpus  dalam  membunuh  Munir adalah  demi  menegakkan NKRI  (Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia)  karena  Munir banyak mengkritik pemerintah.
Dakwaan ini dipertanyakan banyak kalangan karena tidak mengikuti temuan TPF yang menyatakan  pembunuhan  Munir  sebagai  kejahatan  konspiratif.  Dengan  dakwaan  ini maka Pollycarpus dianggap sebagai pelaku utama pembunuhan Munir. Mantan anggota TPF, Usman Hamid dan Rachland Nashidik ditetapkan Polri sebagai tersangka pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan fitnah melalui tulisan terhadap Hendropriyono.
*11 Ags 2005    Polisi menangkap lagi seorang tersangka kasus pembunuhan Munir. Orang itu adalah Ery Bunyamin, penumpang ke-15 di kelas bisnis.
*12 Ags 2005    Polisi untuk sementara hanya menetapkan Ery Bunyamin sebagai tersangka pemalsu dokumen.
*17 Ags 2005    Sidang Pollycarpus II.    Pembela Pollycarpus,    Moh Assegaf    dalam     eksepsinya menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak lengkap, tidak cermat, dan prematur.
*23 Ags 2005    Sidang Pollycarpus III.    JPU,  Domu P Sihite    (juga mantan anggota TPF)    meminta majelis   hakim   untuk   menolak   eksepsi   (nota   keberatan)   yang   diajukan   terdakwa Pollycarpus.
*30 Ags 2005    Sidang Pollycarpus IV. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi tim penasihat hukum Pollycarpus. Dengan demikian siding terus dilanjutkan.
*6 Sep 2005    Sidang Pollycarpus V.    Suciwati   (istri Munir)    memberikan kesaksian seputar upaya Pollycarpus  untuk  mengontak  Munir  sebelum  keberangkatannya  ke  Belanda.  Saksi kedua  adalah  Indra  Setiawan  (mantan  Dirut  PT  Garuda).  Kesaksian  Indra  seputar penugasan Pollycarpus sebagai extra crew pada penerbangan Jakarta-Singapura. Indra Setiawan  hanya  mengakui  adanya  kesalahan  administrative  dalam  penugasan  kerja Pollycarpus.
*7 Sep 2005    Satu tahun persis Munir dibunuh. Peringatan untuk satu tahun kasus Munir diperingati di berbagai kota di Indonesia; di Jakarta (di depan kantor BIN), Makasar, Semarang, dll. Aksi keprihatinan juga dilakukan di Belanda oleh berbagai kelompok aktivis mahasiswa, NGO, dan anggota parlemen Belanda. DPR  lewat  Slamet  Effendy  Yusuf  menyatakan  kecewa  atas  hasil  kerja  tim  penyidik kasus Munir yang tidak mampu mengungkap keberadaan dalang pelakunya.
*13 Sep 2005    Sidang Pollycarpus  VI. Ramelgia  Anwar    (mantan  Vice    President  Corporate Security   PT   Garuda)   memberikan   kesaksian   bahwa   dia   tidak   pernah   meminta penugasan  Pollycarpus  sebagai  extra  crew  kepada  Indra  Setiawan.  Hakim  kemudian mengkonfrontasikan  perbedaan  keterangan  antara  Ramelgia  Anwar  dengan  Indra Setiawan.
*20 Sep 2005    Sidang  Pollycarpus  VII.  Pemeriksaan  terhadap  Rohainil  Aini  (sekretaris  Chief  Pilot Airbus)   dan   Karmel   Sembiring   (Chief   Pilot   Airbus).   Mereka   menyatakan   bahwa Pollycarpus sendiri yang meminta jadi extra crew pada penerbangan GA 974 Jakarta- Singapura. Perubahan jadwal tersebut tidak diketahui atasan.
*27 Sep 2005    Sidang Pollycarpus VIII.  Pemeriksaan terhadap Eddy Santoso dan Akhirina. Keduanya bagian   administrasi   penjadwalan.   Mereka   menyatakan   bahwa   Pollycarpus   tidak dijadwalkan berangkat ke Singapura.
*4 Okt 2005    Sidang    Pollycarpus  IX.  Pemeriksaan  terhadap  Hermawan  (Crew  Tracking),  Sabur Muhammad Taufiq (Kapten Pilot    GA    974    Jakarta-Singapura),     dan    Alex Maneklarang.(keuangan   Garuda).   Pilot   Sabur   mengaku   tidak   tahu   apapun   soal penugasan  Pollycarpus.  Perpindahan  tempat  duduk  Munir  juga  tanpa  sepengetahuan Sabur.  Munir  mendapat  penghargaan  "Civil  Courage  Prize  2005  "  dari  Yayasan  Northcote Parkinson  Fund.  Penghargaan  tersebut  juga  diberikan  kepada  Min  Ko  Naing  (aktivis oposisi Myanmar), dan Anna Politkovskaya (jurnalis Rusia).
*5 Okt 2005    Suciwati,  istri  Munir  mendapat  penghargaan  dari  Time  Asia  Magazine  sebagai  salah satu Asia's Heroes tahun ini.
*11 Okt 2005    Sidang  Pollycarpus  X.  Pemeriksaan  terhadap  saksi  Brahmanie  Hastawati  (purser  GA 974)  dan    Oedi  Irianto  (pramugara).  Mereka  bersaksi  beberapa  kali  Pollycarpus menghubungi mereka via telepon untuk menyamakan soal persepsi soal penerbangan GA 974.
*18 Okt 2005    Sidang  Pollycarpus  XI.  Pemeriksaan  terhadap  Tri  Wiryasmadi  (pramugara),  Pantun Mathondang   (kapten   pilot   GA   974   Singapura-Amsterdam)   dan   Yeti   Susmiarti (pramugari). Mereka bersaksi bahwa Pollycarpus selama penerbangan jarang di tempat duduk.
*21 Okt 2005    Sidang Pollycarpus XII. Pemeriksaan terhadap Tia Ambari (Pramugari), Majib Nasution (Purser),  dan  Bondan  (Pramugara).  Kesaksian  mereka  menerangkan  bahwa  Munir mulai kesakitan sesaat setelah lepas landas dari Changi, Singapura.
*25 Okt 2005    Sidang Pollycarpus XIII. Pemeriksaan terhadap DR. Tarmizi Hakim (dokter yang duduk  dekat Munir), Asep Rohman (Pramugara), Sri Suharni (Pramugari), dan Dwi Purwati Titi (Pramugari).  Kesaksian  hanya  menerangkan  bahwa  Munir  muntah-muntah  sebelum meninggal. Menurut DR Tarmizi kematian Munir memang tidak wajar.
28 Okt 2005    Sidang  Pollycarpus  XIV.  Kesaksian  dari  Addy  Quresman  (Puslabfor  Mabes  Polri).  Ia mengafirmasi  temuan  Tim  Forensik  Belanda  (NFI)  bahwa  Munir  meninggal  karena racun arsenik.
*9 Nov 2005    68  anggota  Konggres  AS  mengirimkan  surat  kepada  Presiden  SBY  agar  segera mempublikasikan laporan TPF. Para anggota Konggres AS tersebut mempertanyakan keserius pemerintah RI dalam menuntaskan kasus Munir.
*10 Nov 2005    Sidang Pollycarpus XV. Pemeriksaan terhadap ahli racun (Ridla Bakri) dan ahli forensic (Budi  Sampurna). Ridla memprediksi arsen yang masuk ke Munir lewat makanan atau minuman.   Sementara   menurut   Budi  Sampurna  arsen   tidak  mungkin diberikan di Jakarta.
*11 Nov 2005    Sidang  Pollycarpus  XVI.  Pemeriksaan  terhadap  Choirul  Anam,  rekan  Munir.  Saksi menyatakan sebelum ke Belanda, Munir sering dikontak oleh BIN.
*15 Nov 2005    Sidang Pollycarpus XVII. Sidang ditunda karena tidak ada saksi yang hadir. Seharusnya yang hadir adalah Nurhadi Djazuli (mantan sekretaris utama BIN, sekarang Dubes RI
untuk Nigeria) dan Muchdi PR (mantan Deputi V BIN).
*16 Nov 2005    Sidang  Pollycarpus  XVIII.  Pemeriksaa  terhadap  Chairul  Huda,  ahli  hukum  pidana. Menurutnya surat tugas Pollycarpus sebagai extra crew merupakan surat palsu.
*17 Nov 2005   Sidang  Pollycarpus  XIX.  Pemeriksaan  kali  ini  mendengarkan  kesaksian  Muchdi  PR (mantan  Deputi  V  BIN).  Dia  menyangkal  punya  hubungan  dengan  Pollycarpus.  Soal hubungan melalui telepon genggam mereka, Muchdi berkata telepon genggamnya bisa dipinjamkan kepada siapa saja.
Pembacaan  BAP  saksi-saksi  yang  tidak  bisa  hadiR, Nurhadi  Djazuli,  Agustinus Krismato, Hian Tian alias Eni, Lie Khie Ngian, Lie Fon Nie, Meha Bob Hussain. Sebelum sidang terjadi aksi pemukulan oleh sekelompok preman terhadap para aktivis Kontras yang menggelar mimbar bebas.
*18 Nov 2005    Sidang  Pollycarpus XX.    Pemeriksaan    terhadap  kesaksian  terdakwa  Pollycarpus. Pollycarpus  mengatakan  tidak  pernah  mengontak  Munir  sebelum  penerbangan  dan sebenarnya hanya basa basi memberikan kursi di kelas bisnis.
*28 Nov 2005   Sidang Pollycarpus XXI. Sidang ditunda karena tim JPU tidak hadir. Seharusnya sidang membacakan tuntutan terhadap Pollycarpus.
*1 Des 2005    Sidang   Pollycarpus   XXII.   JPU   menuntut   hukuman   penjara   seumur   hidup   untuk Pollycarpus.
*12 Des 2005    Sidang Pollycarpus XXIII.   Pollycarpus membacakan pledoinya dan menyatakan tidak bersalah. Kepala Bidang Penerangan Umum Polri, Kombes Bambang Kuncoko menyatakan polisihanya menunggu hasil persidangan Pollycarpus. Jika tidak ditemukan bukti baru, maka penyidikan tidak akan dilanjutkan.















0 comments:

Post a Comment